.

Welcome to Ayrie's Blog *Goresan Cinta Ayrie*

19 November 2014

Mutiara sang Merpati

Sangat dilematis memang ketika dihadapkan pada 2 pilihan yang sulit.. bahkan semua yang kini menjadi hambatan nampak meng "iya" kan hal yang bisa saja dianggap "tidak".

saat harus memilih antara kebahagian dan impian, inilah yang membuatku tak pernah bisa tidur dengan nyaman bahkan selalu saja membayang-bayangi otakku.. "ucapnya dalam hati

semua bisa berkata kau akan baik-baik saja selama itu membuatmu nyaman. tapi apa mereka semua yakin akan perkataannya.. "ah... aku rasa tidak, mereka hanya bicara tentang hari ini saja bukan tentang aku dimasa lalu"

"aku adalah bagian dari pilihan, pilihan masa laluku.. dan saat ini masa depan memintaku untuk kembali memilih, tentang kehidupan baru dimana impian dan kebahagian harus terpisah.. sebut saja ini kekejaman, dan lihatlah mereka menertawaiku dengan sinis.. ya mungkin saja mereka tak ingin aku jadikan pilihan.." 

sembilu menatap semua cahaya yang merekah, dimana lentera menerangi sanubari jiwa.. namun jurang terjam itu kian dalam membawa percikan kerinduan pada dia. dia yang tak pernah sedikitpun luntur termakan masa

"hei.. coba saja, aku akan menjemputmu. bahkan kalian berdua, meski harus kurelakan semuanya, semua kenyataan yang saat ini membuatku tersenyum riang.. ahahha aku seperti anak kecil saja yang membutuhkan permen untuk menenangkan emosi.." ungkapanya dalam hati sambil tersenyum sinis

fajar pun tahu jika hari ini hujan makannya dia tidak datang menemui sang awan.. mungkin karena ketakutan akan letupan kecil dari tabrakan awan yang sedang tidak berteman. setidaknya dia mengalah meski saat ini daratan hampir rata dengan air, mungkin sebentar lagi akan menjadi lautan.

"bisa saja dia bertanya, kamu bisa apa tanpa sepotong roti dan selai coklat. hal kecil yang nampak begitu menyakitkan, memangnya dia siapa bisa mengguruiku seperti hantu hahaha, lucu sekali. dikirannya aku akan mengumpat dibalik kursi kayu. bodoh" sambil meremas kertas dan menatap kosong diapun menggerutu

percuma menyiram dedaunan yang hampir mati, seperti membuang waktu saja! pergilah, dan cari apa yang menjadikan hutan nampak hijau... tapi jika tidak kau temukan kembali saja ketempat dimana ombak menari-nari

"diam, jika tak ingin mendapati luka dalam kata-kata manisku.." ia pun semakin meradang

katanya "pecahkan saja gelasnya biar ramai, biar mengaduh sampai gaduh..." 

percaya atau tidak ketika sang merpati mengepakan sayapnya, daun pun berguguran sepertinya mereka tahu keanggunan pun akan pergi, terbang bebas mengarungi nusantara. 

"itu keyakinanku, tak ada sebutir mutiarapun yang mampu membuatku terdiam, menatapi semesta yang memanggil- manggil.."

"horaaaayyyyyyyy"




16 November 2014

Bisikan kata

Mungkin disaat aku tertawa lepas disana ada luka, 
disaat terlihat kokoh disana ada kegundahan,
tersenyum disaat hati menangis
ya, mereka bilang itu topeng. 

biarlah, tak apa..
ku rangkum keluh ini lewat sebaris do'a
yang hanya ku kirim langsung pada-Nya
sang pemilik semesta

ku jalani, apa yang mesti ku jalani
aku bukan kamu, kamu juga bukan aku
kita di garis yang berbeda
meski sesat cerminmu
nampak menggoreskan luka
bagiku

sudahlah tak usah kau tambah penyesalan
biarlah aku saja yang marah pada diri ini

kini waktu terasa begitu cepat 
pagi berganti malam
panas berganti hujan

dan aku..
aku masih saja berada dititik yang sama
disana.. ya disana
diatas rerumputan basah
dan hanya
beratapkan langit yang sedang menangis

aku hanya takut
jika saja bidadariku disana marah
atas semua ini

bahkan maaf mungkin takkan pernah bisa
mengembalikan semuanya

dan waktu ku sudah tak banyak
pria berjas putih itu bilang
segera..
ah, 
akhirnya aku harus bisa mengerti
dengan semua ini
sekarang hanya tinggal 
merekam senyuman-senyuman bahagia
dihati mereka
dan jika saat itu tiba
aku pun bisa tersenyum bahagia
dan berharap 
tidak meninggalkan luka
biar duka sesaat saja
menghampiri mereka
selebihnya tersenyum lewat do'a
semoga saja

biarlah semua yang terjadi sekarang
ku nikmati dengan penuh senyum bahagia
meski kadang tak mampu menahan tangis 
biarlah air mata menetes hanya diatas sajadah
atau kadang ditepi bantal 




13 November 2014

cerita tentang senja..

SENJA.. *ucapku perlahan
   
ahh... terlalu basah mengingatnya..
seperti hujan sore ini..
tapi sayangnya saat itu ditambah gemuruh petir
yang datang bertubi-tubi memecahkan keheningan

angin yang berhembus
bagai iringan daun yang berguguran
bersamaan dengan terpaan debu

sesaat setelah menenangkan hati,
pada sang Illahi
dengan 3 Rakaat
suasana semakin riuh
badai datang bersamaan dengan bunyi sirine

masih terpasang jelas mukena dibadan
terlanjur hancur perasaan
ketika mobil putih terhenti
tepat di gerbang besi

terasa dingin melingkupi diri
berselimut tetesan keringat dingin
saat menatap
sesosok wajah yang sangat aku kenal
terdiam membisu, pucat pasi
terlihat tak berdaya
dingin melingkupi tubuhnya
terbujur kaku
tak ada gerakan
tak jua ucapan

tak terasa tetesan air mata berjatuhan
tubuhpun tiba-tiba tak mampu lagi berdiri sendiri
"ia telah pergi, tanpa kata terakhir.. tanpa melihatku lagi.. tanpa berpesan untuk terakhir kalinya"
ucapku tanpa daya
aku tersadar
bahwa suasana tadi adalah pertanda

aku harus kehilangan lagi wanita dalam kehidupanku
setelah 3 hari yang lalu ibu dari ibuku pergi tanpa sempat
aku memberitahunya..

ya Rabb dalam sepekan
aku harus merelakan
dua bidadari-Mu







12 November 2014

Dibatas Sang Mentari

karang yang tersapu ombak terkadang berteriak,
memecahkan segala keheningan yang ada..
tapi tak ada satupun mereka yang sadar..

menari dalam kehampaan waktu yang terus berjalan..
pencapaian yang tak kunjung usai..

dimana akan ada ketenangan setelah keramaian yang begitu sengau..
memantul tak berbahasa..

semua tak kan kembali, tak kan pernah..
meski musim tlah berganti, meski keraguan kini tak lagi berarti..
semua telah padam dengan segala candu yang tak lagi terobati..



tak mudah awan berganti mendung,
meski bias mentari tlah terkukung dalam batasan misteri..
biar semua menjadi abu, dan tak lagi menjadi ada..


lupakan saja, apa yang harusnya dilupakan
tak akan kembali pada dimensi dimana..
besi begitu kuat meski terus saja terkikis oleh api
bara akan padam jua..


percayalah,
hitam pekat akan berubah..
walaupun
aku....
ya, aku pun tak tahu
apa kah harapan itu masih ada


ini kisah yang tak kan berujung
hingga waktu
yang berbicara
untuk tak lagi mengenali semuanya
yaaa.. semuannya..

hilang sudah ingatanku
akan catatan lugu, seorang anak
yang kala itu hampir tersapu bayang-bayang semu


sudahlah,
biarkan saja mentari tetap bersinar seperti ini
biarkan derasnya hujan menutupi derasnya cerminan hati ini
biarkan rembulan saja yang tahu gundahnya hati saat bintang tak lagi menemani



sudah biasa bahkan tak lagi istimewa,
terhempas seperti kertas kosong yang tak bertuliskan
tapi percayalah rahasia itu akan sampai pada Ia yang
tak pernah lelah menjagamu




*********************************************************


Ya Rabb.. jika nanti saatnya aku kembali, izinkan aku untuk menatapMu dan memelukMu dengan penuh rasa bahagia.. rasa yang hampir aku lupakan dalam dimensi waktu yang lain yang takkan pernah bisa ku ulang lagi. biarkan aku melepas segala kegundahan ini.



*************************************************************


5 November 2014

My Inspiration..

Yaaaa.. ini cerita tentang mereka, tentang kepolosan, keluguan dan bahkan kenakalan yang kadang bikin aaaarrrrgggggghhhhh tapi kadang justru bikin senyum-senyum sendiri.. emang dasar ya bocah, haha begitulah panggilan sayang buat mereka.. tapi, hebatnya mereka bisa bikin aku tersenyum everytime, walaupun awalnya harus bikin darah tinggi naik.. 
Mereka itu adalah anak-anak yang mulai menginjak masa-masa remaja, masa-masa pubertas.. dibilang gampang menghadapi mereka yaaaa enggak, dibilang susah juga enggak.. mereka itu unik.. dari merekalah aku belajar memahami pribadi orang lain. dari yang ekstrovet, introvet, sensitif, ceria, pinter, ramah, sopan, dan juga apatis.. bukan cuma itu dari mereka juga tuh nemu kata-kata kepo, modus, peka, hahaha senakal-nakalnya aku dulu zaman SMP ga pernah berani modusin gurunya apalagi sampe ngucap kata-kata "ihhh, ibu mah kepo.." coba tuh perubahan zaman yang sangat signifikan termakan trend.
yang gak pernah putus dari mereka itu SALAM... setiap ketemu pasti mereka bakal ngucap "Assalamu'alaikum Ka.." entah itu pagi siang sore.. mau berapa kali ketemu pun mereka bakal ngucapin salam apalagi anak kelas 7 yang biasanya masih nurut-nurut gitu masih imut-imut binggittt dah rasa-rasanya pingin nyubitin satu-satu ahahaha.. tapiiiii, kebayang kan kalau ketemu lebih dari 1 kelas dan one person one salam.. ngejawabinya itu loh haha 1:50.. ya emang sih kita dapat 50 do'a dari mereka tapi kita juga ngucapin 50 do'a buat mereka... ^_^ dan lebih keceh nya lagi kalau setiap jam ketemu mereka.. Indah banget yaaaa :)
hmm, kalau mereka lagi ribut n berisik banget itu suara penggaris yang ketemu meja aja gak ada apa-apanya, kebayangkan suara aku kelelep sama suara mereka yang aduhhhhh, radio rusak aja kalah berisiknya :D dan kalau udah begitu cuma ada 2 cara yang paling ampuh, pertama : cukup diem dan pandangin mereka dengan wajah sok jutek sampai mereka ngerasa dan yang kedua keluarkan kata-kata paling ampuh buat mereka"hm...udah berisiknya? udah ngobrolnya? ok. sekarang silahkan semuanya berdiri dan (nada marah-marah) Push Up 50x atau kalian ambil kartu rekap....!!" dan pasti mereka lebih rela untuk push up ketibang ambil kartu rekap yang bakal berhadapan dengan kesiswaan hahaha.. *dalam hati ketawa bahagia liat mereka push up (sebenernya gak tega juga sih). ^_^  itu kalau di kelas putra tapi jangan harap itu bisa berlaku dikelas putri yang ada nanti mereka bakal ngedumel ngomongin dibelakangnya. so, kalau buat ngadepin putri biasanya cukup di curhatin, karena curhat adalah sebagian dari nasehat yang terselubung. hahaha yupz.. heart to heart
kasus lainnya yang bisa bikin aku betah temenan sama anak SMP itu satu kepo-in mereka lewat curhatan mereka yang hampir tiap hari ada aja. soal teman soal pelajaran dan juga soal cinta.. yaa, u know lah walaupun disekolah itu DILARANG KERAS PACARAN tapi diluar sana what u know? sering kok nge GAP mereka pas lagi jalan bareng.. ya, usia mereka memang sedang rentan-rentannya untuk urusan hati secara mereka masih masa-masa puber, ya sedikit banyak pernah mencicipi lah buku-buku Psikologi remaja. lucu kadang liat tingkah mereka yang kalau jam-jam istirahat kelihatan banget "nge-modus-nya" belum lagi denger curhatan mereka yang suka banget ngecengin kakak kelasnya, ketemu diperpus berasa bahagia banget, di kirim bbm yang walau cuma broadcast aja udh gimana gitu.. hahaaha, jadi inget masa lalu, zaman-zaman masih labil persis seusia mereka, ngecengin kakak kelas kepoin friendsternya nyari no hp nya sampe ke antereo raya *secara dulu belum ada wa atau bbm hahaha (zaman kapan itu ya ) :) eeeiitttt tapi anak zaman sekarang lebih hebat lagi sampe kirimin coklat, beliin kado lah bahkan kaya di FTV2 tuh kasih bunga depan rumah.. hadeh ABG.. ABG.. kemakan sinetron begini nih, iya itu tuh GGS (Ganteng-Ganteng Sariawan).. heu




3 November 2014

Ketika Mas Gagah Pergi ( Cerpen Islami ) karya Helvy Tiana Rosa

Ketika Mas Gagah Pergi ( Cerpen Islami ) karya Helvy Tiana Rosa

Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah! 

Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA. 

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku. 

Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol. 

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya. 

"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?" 

"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!" 

"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?" 

Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga. 

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya? 

"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius. 

Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat! 

Itulah Mas Gagah! 

Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana… 

"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam! 

"Assalaamu’alaikum!"seruku. 

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah. 

"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya. 

"Matiin kasetnya!"kataku sewot. 

"Lho memangnya kenapa?" 

"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut. 

"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!" 

"Bodo!" 

"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar." 

"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!" 

"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…" 

"Pokoknya kedengaran!" 

"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!" 

"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah. 

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?" 

"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah. 

Oala. 

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya. 

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!" 

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala! 

Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya. 

"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?" 

"Lain gimana Ma?" 

"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…" 

Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun." 

Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng." 

Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan. 

Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?" 

"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!" 

"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!" 

Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?" 

Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!" 

Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim." 

Mas Gagah tersenyum. 

"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku. 

"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?" 

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel. 

Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam. 

"Mau kemana Gita?" 

"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya." 

"Ikut Mas aja yuk!" 

"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!" 

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut. 

"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah. 

"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng. 

Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt." 

Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh! 

"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya. 

"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami. 

"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini." 

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah. 

"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham." 

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa. 

"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba. 

"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…" 

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana. 

"Mbak Ana?" 

"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah. 

"Hidayah." 

"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!" 

"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah. 

‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku. 

"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman… 

"Cuma lagi baca!" 

"Buku apa?" 

"Tumben kamu pingin tahu?" 

"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku. 

"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah. 

"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu. 

"Maaas…" 

"Apa Dik Manis?" 

"Gita akhwat bukan sih?" 

"Memangnya kenapa?" 

"Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja. 

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu. 

Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya. 

"Mas kok nangis?" 

"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit." 

Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli… 

"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba. 

"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya. 

"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?" 

"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam. 

Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah. 

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut. 

"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!" 

Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda. 

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng. 

Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama." 

Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau. 

"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya. 

"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah. 

"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum. 

"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah. 

"Lho! " Mas Gagah bengong. 

Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!" 

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar. 

Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati. 

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah. 

Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami. 

"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang. 

"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama. 

"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku. 

"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…" 

"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. " 

"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku. 

Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah. 

"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama. 

Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga. 

"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi. 

Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga. 

"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa. 

Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa." 

Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya. 

"Kriiiinggg!" telpon berdering. 

Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?" 

"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas. 

"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah. 

"Mas Gagaaaaahhhh" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah. 

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan. 

" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku. 

Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar." 

Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram. 

"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir. 

Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak. 

"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku. 

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga." 

Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.." 

"Gita…" suaraku serak menahan tangis. 

Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!. 

"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik. 

Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya." 

Tubuh Mas Gagah bergerak lagi. 

"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang. 

"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali. 

"Gita di sini, Mas…"
Perlahan kelopak matanya terbuka. 

"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah. 

"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu. 

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul. 

Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata. 

Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah. 

"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar. 

Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah. 


Epilog: 

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris. 

Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini. 

Setitik air mataku jatuh lagi. 

"Mas, Gita akhwat bukan sih?" 

"Ya, insya Allah akhwat!" 

"Yang bener?" 

"Iya, dik manis!" 

"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!" 

"Kok nanya gitu sih?" 

"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?" 

"Ganteng kan?" 

"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?" 

"Ya always dong, jihad itu…" 

Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah! 

Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!